Tawassul dengan Calon Rasul – Suatu saat, wilayah Mekkah ditimpa kekeringan yang hebat. Tumbuh-tumbuhan kering dan semua binatang ternak kurus-kurus. Kaum Quraisy berkumpul dengan suara yang keras, melakukan pertemuan. Seorang di antara mereka berkata, “Mintalah perlindungan pada Latta dan ‘Uzza.” Yang lain berkata, “Tidak, mintalah perlindungan kepada Manat, dewa yang ketiga!”
Seorang lelaki dari tengah-tengah mereka, bernama Waraqah bin Naufal, paman Khadijah binti Khuwailid, berkata, “Aku adalah orang Naufal, dan di antara kalian ada keturunan Ibrahim dan Isma’il. Mintalah bantuan kepadanya.” Orang-orang berkata, “Apakah yang kau maksud itu Abu Thalib?” Ia menjawab, “Memang, dialah itu.”
Kemudian mereka pun semuanya berdiri, mereka menemui Abu Thalib yang baru saja keluar dari rumahnya dengan berpakaian kuning. Mereka bertanya, “Wahai Abu Thalib, lembah sudah kekeringan dan makhluk-makhluk Allah sudah kehausan. Bangunlah dan mohonkan hujan bagi kami!” Abu Thalib berkata, “Tunggulah sampai matahari tergelincir dan angin mereda.”
Ketika matahari hampir tergelincir, Abu Thalib keluar dengan membawa seorang anak muda yang wajahnya cemerlang seperti matahari di waktu Dhuha dan dinaungi oleh awan, yang tiada lain adalah Muhammad. Ia menyandarkan punggungnya pada Ka’bah. Dengan memegang anak muda itu, Abu Thalib mengangkat tangannya dan memohonkan turunnya hujan seraya berdoa: “Turunkanlah hujan pada kami, wahai Tuhan kami. Kami ber-tawassul kepada-Mu dengan anak yang penuh berkah ini.”
Waktu itu langit seperti kaca, tidak ada awan. Setelah Abu Thalib berdoa, datanglah awan dari berbagai penjuru bergulung-gulung, berkumpul. Terdengar suara halilintar dan turun hujan dengan deras. Pada waktu itu, Abu Thalib memuji anak muda itu dengan menyampaikan puisinya yang terkenal:
“Awan diharapkan mengalirkan hujannya
Melalui wajahnya yang putih,
Pelindung anak yatim, pelindung janda
Kepadanya berlindung keluarga Hasyim yang malang
Di sisinya mereka dalam kenikmatan dan kemuliaan.”
***
Kira-kira 30 tahun setelah peristiwa itu, seorang Arab Badui tergopoh-gopoh menemui Rasulullah saw. di Madinah. Ia berkata, “Ya Rasulullah, kami datang menemuimu karena unta tidak bisa melangkah dan bayi tidak bisa lagi menyusu. Kemudian, ia membacakan syair:
“Kami temui dada perawan telah menampakkan darahnya
Dan ibu baru tidak lagi menghiraukan bayinya
Dengan tangan menadah,
pemuda datang merendah
Tubuhnya lunglai dan lapar
mulutnya bisu dan pedar.
Pada kami tidak tersisa lagi makanan yang dulu
Selain biji hanzal dan butiran kasar bercampur bulu
Bagi kami, selainmu
tidak ada lagi tempat pelarian
Ke mana lagi manusia lari
kecuali kepada para utusan.”
Lalu, Rasulullah saw. berdiri. Beliau mengenakan sorbannya dan naik ke mimbar. Beliau menadahkan tangannya ke langit seraya berdoa: “Ya Allah, turunkan kepada kami hujan yang melimpah ruah, dengan segera tidak tertunda, berguna tidak berbahaya, sehingga payudara dipenuhi susu, tanaman tumbuh subur, dan bumi hidup lagi setelah kematiannya.” Anas-yang meriwayatkan hadits ini-berkata, “Demi Allah, belum kembali tangan Rasulullah saw., langit sudah mencurahkan air hujannya.” Penduduk lembah berteriak, “ Ya Rasulullah, banjir, banjir!”
Kemudian Rasulullah saw. berdoa: “Ya Allah, berkatilah kami. Jangan siksa kami.” Tiba-tiba awan berpencar sampai melingkari Madinah seperti mahkota. Rasulullah saw. tertawa hingga tampak gusinya. Beliau berkata, “Kukenang lagi Ya Allah, Abu Thalib. Sekiranya ia hidup, pastilah bahagia batinnya. Siapakah yang mau membacakan puisinya bagiku?”
Sumber: 115 Kisah Menakjubkan dalam Kehidupan Rasulullah Saw. Ditulis Oleh: Fuad Abdurrahman – Diterbitkan Oleh: PUSTAKA HIDAYAH